عَنْ ثَوْبَانَ عَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ : « لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ
أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ
بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا ». قَالَ
ثَوْبَانُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ
مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ. قَالَ : « أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ
جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ
أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا».
Nabi bersabda, “Sungguh aku tahu ada
sekelompok dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan kebaikan-kebaikan
semisal gegunungan Tihamah yang berwarna putih,tetapi Allah menjadikannya debu
yang beterbangan (sia-sia).” Tsauban bertanya, “Ya Rasûlallah,
sifatkanlah mereka untuk kami,agar kami tidak seperti mereka sedangkan kami
tidak mengetahuinya.” Beliau bersabda, “Mereka adalah saudara kalian,
dari ras kalian, dan qiyam sebagaimana kalian hanya saja mereka adalah
orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah dalam kesendiriannya.”
(HR. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).
Di antara kewajiban paling mendasar yang
harus diketahui oleh seorang muslim adalah mengetahui hal-hal yang merusak, dan
menghanguskan pahala amal shalih sehingga amalnya tidak sia-sia; agar kelak
tidak menjadi orang yang menyesali diri hanya karena ketidaktahuannnya, dan
juga tidak menjadi orang yang merugi; mengira bahwa telah beramal
sebaik-baiknya tetapi ternyata hanya sia-sia belaka, “Katakanlah, “Apakah
mau Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya? (103), Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”
(104) (al Kahfi : 103-104), sehingga kesudahannya pun tidak disangka-sangka“Dan
jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka pikirkan.” (az
Zumar : 47). Maka benar apa yang dikatakan oleh Hudzaifah bin Yaman, “Manusia
bertanya kebaikan kepada Rasulullah tetapi aku justru bertanya keburukan kepada
beliau karena khawatir akan menimpaku.” (Shifatus Shafwah : I/610).
Maksudnya, mempelajari kebaikan itu penting tetapi akan jauh lebih penting lagi
bila kita juga mengetahui hal-hal yang merusak pahala kebaikan-kebaikan itu. Di
sinilah kita memahami urgensi membahas hadit di atas, agar menggunungnya pahala
tidak lenyap tanpa disadari oleh si empunya.
Makna hadits
Makna “mahârimullah” adalah apa
yang diharamkan oleh Allah berupa dosa-dosa, besar dan kecilnya. Sedangkan
makna “intahakûhâ” adalah mereka melakukan dan melanggarnya.
Sedangkan makna hadits, “Mereka
adalah saudara kalian, dari ras kalian, dan qiyam sebagaimana kalian hanya saja
mereka adalah orang-orang yang mereka melanggar larangan-larangan Allah dalam
kesendiriannya.” mengandung dua makna,
- Maksudnya adalah sekelompok manusia yang tidak melakukan hal-hal yang
diharamkan Allah di hadapan manusia karena takut terlihat oleh mereka,
bukan karena takut kepada Allah (ini sesuai dengan ahli nifaq dan riya’),
tetapi jika mereka tidak berada di tengah-tengah manusia, mereka melakukan
hal-hal yang diharamkan –seperti zina, liwath, zhalim, dusta, dan
lain-lain, dalam kesendiriannya, sebab ia tidak memiliki rasa
takut kepada Allah, atau karena ketakutannya yang amat sangat (bila
terlihat oleh manusia). Maka benarlah apa yang dikatakan Nabi, “al
Itsmu mâ hâka fî shadrika wa karihta an yatthali`a `alaihin nâs, dosa
adalah apa yang mengusik hatimu, dan kamu tidak suka terlihat oleh
manusia.”
- Maksudnya adalah segolongan manusia yang tidak melakukan hal-hal yang
diharamkan dalam dhahirnya, karena untuk menutupi diri mereka sendiri,
tetapi mereka justru tenggelam dalam kubangan dosa dan maksiat ketika
sendirian, di mana ini menunjukkan kelancangan dan keberanian mereka
terhadap Allah, dan keburukan menguasai mereka, sekalipun mereka bukan
orang munafik ataupun orang yang riya’.
Dari penjelasan di atas, bisa
disimpulkan bahwa mereka tidak berbuat dosa hanya karena takut kepada manusia,
tidak takut kepada Allah padahal Dia berfirman, “Mereka bersembunyi dari
manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta
mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah
tidak ridai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang
mereka kerjakan.” (An Nisa’ : 108). Karena memang tidak ada yang
terluput dari-Nya, secuilpun, hatta semut hitam yang berjalan di
kegelapan malam sekalipun.
Imam Ibnul Qayyim pernah mengingatkan, “Ajma`al
`arifûna billâhi anna dzunûbal khalwât hiya ashlul intikâsât, orang-orang
yang arif billah (benar-benar mengenal Allah) bersepakat bahwa dosa-dosa
dalam kesendirian adalah pokok ketergelinciran.” Karena perbedaan dhahir dan
batin, amal ketika terang-terangan dan tersembunyi ini menunjukkan lemahnya
kualitas iman, karena iman itu memiliki amalan dhahir dan batin. Zhahir iman
adalah perkataan lisan dan perbuatan anggota badan, sedangkan batinnya adalah
kepercayaan hati, ketundukan dan kecintaannya. Zhahir tidak bermanfaat manakala
tidak memiliki batin, walaupun sampai mengucurkan darah, dan mengorbankan harta
benda dan anak keturunan. Batin tanpa dibarengi dengan lahir juga tidak cukup
kecuali bila ia tidak mampu melakukannya (lemah), dipaksa dan khawatir binasa.
Tidak melakukan suatu perbuatan lahir tanpa ada halangan menunjukkan rusaknya
batin dan kekosongan iman. Kurangnya amal zhahir menunjukkan kurangnya batin,
dan kekuatan amal zhahir menunjukkan kekuatan batin. Keimanan adalah hati
dan intii Islam, sedangkan keyakinan adalah hati dan inti iman. Setiap ilmu dan
amal yang tidak menambah kekuatan iman dan keyakinan adalah cacat, dan setiap
keimanan yang tidak membangkitkan untuk beramal adalah cacat.
Alangkah indah kekata Abul `Atahiyyah,
Idzâ mâ khalawtad dahra yawman fa lâ
taqul ** khalawtu, wa lakin qul `alayya raqîbun
Wa lâ tahsabannallâha yaghfulu
sâ`atan ** wa lâ anna mâ nukhfîhi `anhu yaghibu
“Jika pada suatu hari kamu sedang dalam
kesendirian maka janganlah kamu katakan,
aku sedang sendiri tetapi katakanlah sesungguhnya
ada Dzat yang mengawasiku;
janganlah kamu mengira Allah alpa
sekalipun sesaat,
dan jangan pula menyangka bahwa apa yang
kita sembunyikan tidak Dia ketahui.”
Kejujuran hati
Hadits di atas mengingatkan agar kita
tidak menjadi pribadi shalih secara dhahir tetapi berjiwa bejat dan berhati
busuk; menampakkan keshalihan di hadapan manusia tetapi bermaksiat di hadapan
Dzat yang lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya sendiri dalam
kesendiriannya. Dia lah Allah, Dzat yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam
jiwa dan terdetik dalam pikiran hamba-Nya, dan “Dia mengetahui khianatnya
mata dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Ghafir : 19). Orang seperti
ini adalah orang yang ingin menipu Allah padahal sebenarnya ia menipu dirinya
sendiri. Kiranya tepat apa yang dikatakan oleh Fudhail bin Iyadh tentang orang
yang berwatak seperti ini. Katanya, “Yâ kaddzâb ya muftarî…, ittaqillâh wa
lâ tasubba iblîsa fi l-`alaniyyah wa anta shadîquhu fi s-sirri, wahai
pendusta wahai orang yang mengada-ada kedustaan, bertakwalah kepada
Allah, dan janganlah kamu mencaci iblis di tengah keramaian manusia tetapi kamu
malah menjadi temannya dalam kesendirian.”
Dalam riwayat lain, Fudhail bin Iyadh
juga mengatakan, “Wahai orang yang sengsara, kamu orang jahat tetapi menganggap
dirimu baik. Kamu itu orang bodoh tetapi menganggap dirimu pintar. Kamu tolol
tetapi angan-anganmu panjang.”
Tentang perkataan di atas, Imam adz
Dzahabi berkomentar, “Demi Allah, sungguh benar apa yang beliau katakana
kita ini zhalim tetapi justru merasa didzalimi, tukang memakan makanan yang
haram tetapi merasa diri kita suci, fasik tetapi merasa diri kita shalih,
mencari ilmu untuk mengejar dunia tetapi merasa mencarinya karena Allah
semata.”
Maka, harus ada kejujuran dalam hati.
Karena kejujuran tidak hanya pada lisan tetapi juga pada hati. Jujur kepada
diri sendiri, dan juga kepada Allah dengan menyesuaikan lahir dan batin.
Tentang hal ini, Sufyan bin Uyainah berkata, “Apabila amalan hati bersesuaian
dengan amalan zhahir, itulah keadilan. Apabila amalan hati lebih baik daripada
amalan zhahir, itulah keutamaan, dan apabila amalan zhahir lebih baik daripada
amalan bathin, itulah keculasan.” (Shifatus Shafwah : II/234).
Lenyapnya peka dosa
Dosa dan maksiat yang kita lakukan
menjadi noktah dosa yang menghitamkan hati. Setitik demi setitik. Awalnya,
nurani kita akan selalu memberikan pesan bahwa ia tersakiti. Bila ia bertaubat
maka hati akan jernih kembali, tetapi ketika hawa diperturutkan dan maksiat
terus dilakukan, berulang-ulang, lagi dan lagi, noktah-noktah dosa menjadi
Rann, yang menggelapkan hati, padahal, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Ibnul Qayyim dalam Al-Fawa’id, “wa min ‘uqubatis sayyi’ah as-sayyi’atu
ba’daha, akibat dari berbuat dosa adalah berbuat dosa setelahnya” artinya,
satu dosa akan selalu mengundang dosa yang lainnya. Hingga suatu ketika, hati
sudah tidak lagi peka dosa, ia mati rasa. Dan ini adalah hukuman terberat yang
sesungguhnya. Pakar hati, Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khatir menyebutkan,
“Hukuman atas suatu dosa adalah perasaan tidak berdosa.” Ya, karena merasa tak
berdosa adalah kain kafan yang membungkus hati ketika ia mati.
Alangkah indahnya kekata Hasan Az-Zayyat
;
Yang paling aku takutkan adalah
keakraban hati
Dengan kemungkaran dan dosa
Jika suatu kedurhakaan berulangkali
dikerjakan
Maka jiwa menjadi akrab dengannya
Hingga ia tak lagi peka, mati rasa.
Bila demikian, maka orang yang memiliki
segunung pahala tetapi sia-sia itu; selalu menshalihkan dhahirnya tetapi
membusukkan batinnya sendiri itu dengan maksiat dan dosa tidak pernah mengecap
manisnya munajat. Karena kalau lah amalan dhahirnya benar, tentu akan
menghasilkan khasyyah yang akan menghalangi dia untuk bermaksiat dalam
kesendirian. Nikmat munajat bisa jadi lenyap, tetapi ketika ia tidak menyadari
karena hatinya sudah mati rasa, sehingga tidak lagi peka terhadap dosa, dan
merasa tidak berdosa, maka bisa jadi nikmat munajat itu tidak akan kembali
lagi.
Abu Sulaiman, tabi’in yang pernah bersua
bidadari pada suatu malam itu pernah berkata, “Allah Azza wa Jalla
mewahyukan kepada Jibril alaihis salam, “Cabutlah apa yang aku rizkikan kepada
hamba-Ku berupa nikmatnya taat. Jika dia kehilangan maka kembalikanlah
kepadanya, tetapi jika dia tidak kehilangan, maka jangan engkau kembalikan
kepadanya, selama-lamanya.” (Shifatus Shafwah : IV/226).
Jadi, ketaatannya hanyalah khusyuk
secara dhahir, tidak secara batin. Bahkan, Imam Al-Ghazali memaparkan bahwa
orang yang dikuasai hawa nafsu dan maksiat, bila ia tengah shalat, ia pasti
malu bila ada orang yang mengetahui apa yang menggelayut dalam pikirannya,
sekalipun orang itu adalah orang yang paling bejat sekalipun, apalagi dalam
shalatnya. Padahal shalat yang tidak memerintahkan kepada yang makruf, dan
mencegah yang mungkar seperti ini hanya akan menjauhkan pelakunya dari Allah
Ta’ala.
Dari Abdurrahman bin Zaid dari Abdullah
bin Mas’ud berkata, “Barangsiapa yang shalatnya tidak memerintahkan kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, maka dia akan bertambah jauh dari
Allah.” (Shifatus Shafwah : I/414).
Maka, alangkah malangnya lelaki yang
secara lahir shalih tetapi berhati busuk itu; hilangnya nikmat munajat, dan
dijauhkan dari rahmat Allah sungguh merupakan siksa, sebelum siksa yang
sesungguhnya di akherat nanti.
Ta`zhim, lubbul `ubudiyyah
Ternyata perbincangan sederhana pada hari
selasa pagi, 19 Juli 2011 menjadi jawaban atas tanya saya, “Kenapa
menggunungnya pahala bisa tersia-sia seperti itu?”, waktu itu saya membuka
perbincangan, “Ternyata dosa sembunyi-sembunyi lebih berbahaya ya?” tanya ini
sebagai pancingan saja, karena saya pun sudah tahu bahwa dosa terang-terangan
lebih berbahaya karena dosa sembunyi-sembunyi hanya akan berakibat kepada
pelakunya saja, berbeda dengan dosa terang-terangan, dampaknya akan menimpa
orang di sekitarnya.
“Bukannya dosa terang-terangan?” tanya
ustadz Imtihan Asy-Syafi’I
“Maksud saya, dosa sembunyi-sembunyi itu
ternyata ngeri juga.” sembari membayangkan hadits yang barusan yang saya baca;
memiliki segunung pahala karena saking banyaknya tetapi ternyata sia-sia karena
Allah jadikan semua pahala itu bak debu beterbangan, sama sekali tidak bernilai
di sisi-Nya.
“Oh, iya” padahal beliaunya tidak tahu
apa yang saya baca tetapi langsung nyambung; sudah faham apa yang saya
maksudkan.
Beliau melanjutkan, “Sebenarnya, dosa
terang-terangan bisa saja bernilai kecil bila disertai dengan istighfar (baca :
taubat), sebaliknya, dosa sembunyi-sembunyi bisa bernilai besar bisa dilakukan
terus menerus (kaidahnya para ulama, Lâ kabîrata ma`a l-istighfâr wa lâ
shaghîrata ma`a l-ishrâr).”
Lanjutnya, “Intinya adalah ta`zhim
seorang hamba kepada Allah. Sebagai contoh, ada dua orang yang shalat; mereka
sama-sama shalat tetapi kualitas shalatnya tentu tidak sama, dan ketidaksamaan
ini ditentukan oleh seberapa besar ta`zhim mereka kepada Allah.” Jadi, “Ta`zhim
adalah lubbul `ubudiyyah, inti ubudiyyah.”
Ta`zhim adalah lubbul
`ubudiyyah ini sangat penting karena segala bentuk kebaikan akan bernilai
agung sesuai dengan seberapa besar pengagungan seorang hamba kepada Sang
Pencipta, Allah Ta`ala; merasakan pengawasan-Nya, begitu pula dalam bermaksiat,
orang yang meremehkan Allah ketika ia sedang bermaksiat membuat ia terjatuh
dalam dosa di atas dosa. Inilah yang diingatkan oleh Ibnu Abbas. Kekatanya
diabadikan oleh Ibnul Jauzi dalam karya monumentalnya, Shifatus Shafwah.
Ibnu Abbas berkata, “Wahai pendosa,
janganlah kamu merasa aman terhadap akibat buruk dari dosamu. Ketika satu dosa
diikuti dosa yang lain, maka ia lebih besar dosanya daripada dosa yang sudah
kamu lakukan. Sedikitnya rasa malu kepada malaikat yang berada di sisi kanan
dan kirimu ketika kamu sedang melakukan dosa, itu lebih besar dosanya daripada
dosa yang sudah kamu kerjakan. Tertawamu ketika berbuat dosa sedang kamu tidak
tahu apa yang akan Allah perbuat terhadapmu, itu lebih besar dosanya daripada
dosa itu sendiri. Kebahagiaan dengan dosa yang kamu kerjakan juga lebih besar
dosanya daripada dosa itu sendiri. Perasaan sedih karena terluput melakukan
dosa itu lebih besar dosanya daripada dosa itu sendiri jika kamu beruntung
mencicipinya. Dan rasa takutmu terhadap angin yang akan bergerak membuka tabir
pintumu ketika kamu berbuat dosa sedangkan hatimu tidak berguncang dengan
penglihatan Allah kepadamu itu dosanya lebih besar daripada dosa yang kamu
kerjakan.” (Sifatus Shafwah : I/754-755). Ya Allah, betapa seringnya kita
melakukan dosa di atas dosa bila kita tidak memiliki ta`zhim kepada
Allah Subhanahu wa Ta`ala.
Maka, sebagai penutup, hadits Nabi di
bawah ini cukup menjadi nasehat bagi kita semua,
عَنْ ثَوْبَانَ عَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ : « لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ
أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ
بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا ». قَالَ
ثَوْبَانُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ
مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ. قَالَ : « أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ
جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ
أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا».
Dari Tsauban, dari Nabi, beliau
bersabda, “Sungguh aku tahu ada sekelompok dari umatku yang datang pada hari
kiamat dengan kebaikan-kebaikan semisal gegunungan Tihamah yang berwarna putih,
tetapi Allah menjadikannya debu yang beterbangan (sia-sia).” Tsauban bertanya,
“Ya Rasûlallah, sifatkanlah mereka untuk kami, agar kami tidak seperti mereka
sedangkan kami tidak mengetahuinya.” Beliau bersabda, “Mereka adalah saudara
kalian, dari ras kalian, dan qiyam sebagaimana kalian hanya saja mereka adalah
orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah dalam kesendiriannya.”
(HR. Ibnu Majah dan ath Thabrani).
Rabbanâ zhalamnâ anfusanâ wa in lam
taghfir lanâ la nakûnanna minal khasirin, Duh Rabb kami, kami
telah berlaku zhalim terhadap jiwa-jiwa kami, maka ampunilah kami, kerana jika
Engkau tidak mengampunkan maka sungguh kami termasuk orang-orang yang merugi.
NB : Hadits ini wajib dihafal, dan
direnungi, terutama oleh penulis sendiri.
By : Ibnu Abdul Bari el `Afifi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar