Entri Populer

Minggu, 24 Juni 2012

Ibuku Bermata Satu (Kisah Nyata)



Suatu hari, Ibu membuatkan pesanan katering untuk guru-guruku di sekolah. Tentu saja ia datang menemuiku tepat saat aku sedang bermain dengan teman-teman. Ini akan jadi cerita biasa jika Ibuku normal. Sayangnya tidak, Ibuku bermata satu. Artinya, Ibuku tidak normal. Sejak saat itu, teman-teman pun mulai mengejek Ibu. Dan aku, bukannya membela Ibu, aku malah marah-marah.

“Ma...kenapa engkau hanya memiliki satu mata?! Kalau engkau hanya ingin aku menjadi bahan ejekan orang-orang , kenapa engkau tidak segera mati saja?!” Begitulah, kekesalanku pada Ibu meluap-luap, sampai-sampai aku berharap Ibuku segera lenyap dari muka bumi. Saat itu entah mengapa Ibu tidak menanggapi kemarahanku. Ia hanya diam. Aku merasa tidak enak, namun di saat yang sama, aku merasa harus mengatakan apa yang ingin aku katakan selama ini. Mungkin ini karena Ibu tidak pernah menghukumku, akan tetapi aku tidak berpikir kalau aku telah sangat melukai perasaannya.

Semenjak saat itu aku bertekad untuk segera lepas dari Ibu. Menjadi orang dewasa dan sukses. Untuk itu aku belajar dengan sangat keras. Yah, akhirnya aku berhasil meninggalkan Ibu. Aku lulus beasiswa di luar negeri.

Aku sukses dalam banyak hal, kuliahku lancar, bahkan setelah lulus aku menikah, punya rumah dan anak-anak yang lucu. Aku menyukai tempat tinggal ini karena tempat ini dapat membantuku melupakan ibu. Kebahagiaan ini bertambah besar dan besar, sampai suatu ketika Ibuku berdiri tepat di halaman rumahku, masih dengan mata satunya. Aku merasa seolah-olah langit runtuh menimpaku. Bahkan anak-anakku lari ketakutan melihat ibuku yang bermata satu.

“Berani sekali kamu datang ke rumahku dan menakut-nakuti anak-anakku! Keluar dari sini! Sekarang juga!” Aku memaki Ibu seolah-olah aku tak mengenalnya. Ibuku hanya menjawab dengan suara lirih.

“Oh, maafkan aku. Aku mungkin salah alamat?” Kemudian Ibu berlalu dan hilang dari pandanganku.
Entah mengapa saat itu aku merasa lega karena ia tak mengenaliku dan memilih pergi daripada meyakinkan aku bahwa ia adalah Ibuku. Kukatakan pada diriku kalau aku tidak akan khawatir, aku tidak akan memikirkannya lagi.

Beberapa hari kemudian, sebuah undangan untuk menghadiri reuni sekolah dikirim ke alamat rumahku. Dan untuk bisa pergi ke sana, aku pun berbohong pada istriku bahwa aku pergi untuk urusan kantor.

Setelah reuni sekolah usai, naluriku membawa langkah kakiku ke sebuah gubuk tua di depan sekolah. Ya, itu rumahku. Tetanggaku berkata bahwa ibuku telah meninggal dunia. Aku tidak meneteskan air mata sedikitpun saat itu. Lalu kulihat Ibu tergeletak di lantai tanah yang dingin sambil menggenggam selembar kertas. Sebuah surat untukku.

“Anakku... Aku rasa hidupku cukup sudah kini. Dan... aku tidak akan pergi mengunjungimu lagi... Tapi apakah terlalu berlebihan bila aku mengharapkan engkau yang datang mengunjungiku sekali-kali? Aku sungguh sangat merindukanmu... Dan aku sangat gembira ketika kudengar bahwa engkau datang pada reuni sekolah. Tapi aku memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah. Demi engkau... Dan aku sangat menyesal karena aku hanya memiliki satu mata. Aku telah sangat memalukan dirimu. Kau tahu, ketika engkau masih kecil, engkau mengalami sebuah kecelakaan, dan kehilangan salah satu matamu. Sebagai seorang ibu, aku tidak bisa tinggal diam melihat engkau akan tumbuh besar dengan hanya memiliki satu mata. Jadi kuberikan salah satu mataku untukmu... Aku sangat bangga akan dirimu yang telah dapat melihat sebuah dunia yang baru untukku, di tempatku, dengan mata tersebut. Aku tidak pernah marah dengan apa yang pernah kau lakukan.”

Belum habis kubaca surat dari Ibu, tenggorokanku tercekat, pikiranku berkecamuk. Jadi, selama ini Ibu yang kubenci adalah penyelamatku? Ibu yang bahkan tak kuanggap adalah orang yang matanya didonorkan untukku?

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Israa': 23)
Rasulullah menyampaikan sabda keutamaan seorang ibu. Bahz bin Hakim meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang menemui Rasulullah SAW. Lelaki itu bertanya, "Siapakan yang harus saya taati?" Rasulullah SAW menjawab, "Ibumu." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa lagi?" Rasulullah SAW menjawab, "Ibumu." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa lagi?" Rasulullah SAW masih menjawab, "Ibumu." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa lagi?" Rasulullah SAW menjawab, "Ayahmu, kemudian kerabat terdekat yang disusul kerabat yang lain." 

 Kalo mau yang lebih sedih liat ceritanya langsung di: http://www.youtube.com/watch?v=_IX6hxwQTiw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar