Entri Populer

Senin, 09 April 2012

Shalat Berjamaah, Antara Hukum dan Realita



Suatu kali, ada seorang teman yang begitu sulit untuk bangun shalat subuh berjamaah. Ku gedor pintunya, ku bangunkan dia, ku panggil dia, dan ku suruh dia cepat-cepat bersiap shalat di masjid. Alarmnya pun masih berbunyi ketika itu. Seakan menjerit-jerit untuk membangunkannya. Tetapi, itu semua tidak membuatnya beranjak dari tempat tidur dan hanya menggeliat seperti kucing yang baru bangun tidur. Dan kemudian tidur lagi. Hingga aku pulang dari Masjid, kutemui dia masih dalam posisi itu. Tak berhenti disitu, ku bangunkan untuk kedua kalinya hingga tubuhnya mulai terbangun dan duduk untuk mengambil air minum disampingnya. Ku suruh dia cepat untuk shalat. Lalu aku masuk kamar. Aku beraktifitas disana. Hingga setengah jam kemudian, belum ku dengar denyitan pintu yang menandakan dia keluar untuk berwudhu. Aku curiga, dan keluar kamar dan kulihat kedalam kamarnya. Astaghfirullah, dia tidur lagi. Lalu ku gedor pintunya, Bangun-bangun! Akhirnya dia bangun subuh. Kejadian itu hampir setiap hari ku alami.

Aku percaya ada masalah besar pada dirinya. Akar masalah yang dialaminya tidak sederhana. Masalah itu ada pada mafahim-nya atau dapat diartikan persepsinya terhadap sesuatu. Sebab manusia itu hidup/bergerak/beraktifitas karena mafahim-nya terhadap kehidupan. Maka mafahim inilah yang harus disampaikan. Mulai dari, tidakkah dia mengetahui hukum shalat berjamaah di masjid bagi lelaki? Atau tidakkah dia mengetahui bagaimana siksa jika meninggalkannya? Apabila dia sudah memiliki mafahim tentang ini, dia akan merubah kebiasaannya yang buruk itu. Insyallah

Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم begitu tegas menjelaskan pentingnya shalat berjamaah bagi laki-laki. Ditekankan kepada kaum muslimin untuk selalu datang shalat berjamaah. Bahkan seorang yang buta ketika itu, meminta ijin kepada Rasulullah agar tidak mengikuti shalat berjamaah di masjid dengan udzur/alasan berupa kebutaan dan tidak bisa berjalan sendirian. Rumahnya jauh dan tidak ada seorangpun yang bisa mengantarnya. Belum lagi dijalan nanti banyak serangga dan binatang buas. Dan masih ada udzur (alasan) lain yang disampaikannya. Namun Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah kamu (masih bisa) mendengar Adzan?” ia menjawab, “Ya, Saya masih bisa mendengarnya.” Maka beliau bersabda, “(kalau begitu), penuhilah panggilannya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku tidak mendapatkan ada rukhsah (keringanan) baginya.”(1)

Begitu juga ‘Amir bin Abdullah bin Zubair رَضِيَ اللهُ عَنْه tatkala ia mendengar mu’adzin mengumandangkan adzan, sementara itu kematian sebentar lagi mendatanginya, maka dia berkata, “Bawalah aku ke Masjid!” Dikatakan kepadanya, “Anda sedang sakit.” Lantas dia menjawab, “Aku mendengar panggilan Allah, sementara aku sulit memenuhi panggilan-Nya, maka tolong, bawalah aku ke Masjid.” Maka ia pun shalat Maghrib berjamaah bersama imam, ia sempat mendapatkan satu rokaat, kemudian menghembuskan nafas terakhir.(2)

Dengan demikian, lebih-lebih lagi bagi orang yang sehat badannya dan sempurna indranya. Pasti Rasulullah akan lebih keras peringatan baginya. Gelar apakah yang beliau sematkan kepada orang yang meninggalkan shalat berjamaah di Masjid? Justru malah dia shalat di rumahnya atau di kosan. Mereka digolongkan orang yang memiliki sifat kemunafikan. Bahkan ciri utama orang munafik. Sebagaimana sabda Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم, “Sesungguhnya sholat yang paling berat dikerjakan oleh orang-orang munafik ialah shalat Isya’ dan Subuh.”(3)

Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala menggariskan kepada Nabi kalian jalan-jalan petunjuk (sunnah-sunnah). Seandainya kalian shalat dirumah, seperti orang yang terlambat ini shalat dirumahnya, niscaya kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian tersesat. Dan tidaklah seorang laki-laki bersuci dengan sempurna lalu sengaja ke masjid di antara masjid-masjid (yang ada) kecuali Allah menuliskan baginya satu kebaikan untuk setiap langkah yang ia ayunkan dan mengangkat pula dengannya satu derajat dan dengannya pula dihapus satu dosa. Sebagaimana yang kalian ketahui, tak seorangpun meninggalkannya (shalat berjama’ah) kecuali orang munafik yang nyata kemunafikannya. Dan sungguh orang (yang berhalangan) pada masa itu, dibawa datang (ke masjid) dengan dipapah oleh dua orang lalu diberdirikan di dalam shaf.”(4)

Mereka beralasan, badan ini berat seperti ada yang menindih. Rasa malas karena suasana yang dingin. Mata bergitu berat dan perih seakan dipenuhi dengar air kecing. Bahkan para sahabat Rasul, untuk mengidentifikasi apakah orang tersebut munafik atau bukan, dapat dilihat bagaimana kehadirannya dalam shalat berjamaah.

Seandainya mereka tahu, keutamaan yang begitu besar di dunia dan akhirat, pasti dia akan mendatanginya walaupun harus merangkak. Sebagaimana Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم bersabda, “Sekiranya mereka mengetahui keutamaan yang ada dalam dua shalat tersebut, mereka pasti akan mendatanginya walaupun harus dengan merangkak.(5) Sering kita jumpai, untuk antrian sembako, raskin, atau daging kurban saja, orang-orang berani berdesak-desakan. Berdiri berjam-jam mengantre panjang hanya untuk mendapatkan secarik rezeki. Bagaimana kita bisa membayangkan orang yang harus merangkak-rangkak mendatangi sesuatu, pasti yang didatanginya ini sangat berharga nilainya.

Bahkan di zaman Rasulullah, saking urgennya urusan ini sampai-sampai beliau berkeinginan untuk membakar rumah orang yang tertidur pulas ketika shalat sedang dikerjakan. Sebagaimana Beliau صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم bersabda, “Sungguh, sebenarnya aku sangat ingin memerintahkan sholat untuk didirikan, lalu aku perintahkan seseorang untuk mengimami kaum muslimin. Kemudian aku berangkat bersama beberapa orang laki-laki dengan membawa beberapa ikat kayu bakar kepada orang-orang yang tidak ikut sholat, lalu akan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api tersebut.”(6) Artinya apa? Artinya ini begitu penting dan wajib bahkan bagi laki-laki untuk mendatangi shalat berjamaah di Masjid. Bukan shalat sendirian di kosan atau di rumah.

Hadits berikut inilah yang harus selalu diingat oleh setiap orang. Baik lelaki maupun perempuan, yaitu ketika Sumarah bin Jundab رَضِيَ اللهُ عَنْه meriwayatkan bahwasannya Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم bermimpi. Dalam mimpi ini Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم diperlihatkan adzab orang-orang yang berdosa dari orang-orang muslim. Bisa jadi ini adzab kubur, atau bisa jadi pula dalam api neraka, bahkan mungkin pada kedua-duanya. Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم bersabda,
“Sungguh telah datang kepadaku tadi malam dua tamu (Jibril dan Mikail). Keduanya diutus kepadaku, dan berkata, ‘Berangkatlah’, lalu saya pergi bersama mereka. Kami mendatangi orang yang sedang tidur dan yang lainnya berdiri tegak di atasnya dan membawa batu. Lalu tiba-tiba melepaskan batunya tepat pada kepalanya hingga hancur lebur. Batu itu telah meleburkannya. Kemudian dia mengambilnya kembali, dan dia tidak mengulanginya hingga kepalanya pulih kembali, sebagaimana semula. Kemudian dia akan kembali, lalu dia akan melakukannya sebagaimana yang telah dia lakukan pada pertama kalinya. Rasulullah berkata, ‘Saya berkata kepada keduanya’, ‘Subhanallah! Apa ini?’. Mereka berdua berkata, ‘Lanjutkan perjalanan... Lanjutkan perjalanan...’.”(7) Beliau melewati peristiwa berlainan yang jumlahnya sangat banyak. Namun, tidak mungkin disebutkan secara keseluruhan di sini.

Kemudian kedua malaikat tadi mulai menjelaskan padanya peristiwa yang beliau saksikan tadi, “Orang pertama yang telah Anda datangi tadi, yang dipecahkan kepalanya dengan batu, ia adalah orang yang membawa Al-Qur’an namun mencampakkannya dengan begitu saja, dan tidur pada saat shalat wajib.”(8) Semua orang tahu bahwa tidur menjadi penghalang utama shalat Subuh. Adapun gambaran orang memukul kepalanya, adalah ia merupakan tempat akal, tempat paling mulia yang dimiliki manusia.

Oleh karena itu, kewajiban kita adalah menegakkan shalat sebagaimana dulu Rasulullah dan para sahabat menegakkannya. Yaitu dengan melaksanakan shalat wajib diawal waktu, berjamaah, dan di Masjid. Apabila kita tidak melakukan itu, maka kita telah meninggalkan sunnah Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم, dan dia akan jauh dari syafa’at beliau di hari kiamat nanti. Bahkan dia tidak diakui oleh Rasulullah sebagai umatnya. Na’udzubillah min dzalik. Semoga kita dijauhkan dari sifat-sifat orang munafik. Semoga Allah memudahkan setiap langkah kita menuju masjid dikegelapan malam. Semoga kita mendapatkan cahaya yang sempurna di hari kiamat. Sebagaimana Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم bersabda, “Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sangat terang pada hari kiamat.”(9)

Keterangan:
(1) Mukhtashar Muslim (321), sementara yang riwayat lain ada di Shahih Sunan Abu Dawud (516)
(2) Siyar A’lami An-Nubula’ 5/219
(3) HR. Muslim, Mukhtashor Muslim hal. 325
(4) HR. Muslim
(5) HR. Muslim, Mukhtashor Muslim hal. 325
(6) HR. Muslim, Mukhtashor Muslim hal. 325
(7) HR. Bukhari
(8) Ibid.
(9) HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar